

Karya yang dimaksud ialah mobil ramah lingkungan Widya Wahana (WW). Sebuah kendaraan berbasis tenaga surya pertama di Indonesia, yang beberapa kali sukses menaklukan rute perjalanan Jakarta-Surabaya. “Kita sudah terbukti bisa jalan. Sedangkan kampus lain baru prototype saja” ungkap Sentot Baskoro, salah seorang anggota tim WW.
Sentot mengatakan, Proyek tersebut diadakan lantaran prihatin dengan adanya kebijakan pemerintah yang membatasi kegiatan mahasiswa. Semua aktivitas di dekonsentrasikan ke jurusan, maksimal hingga tingkat fakultas. Institut hanya dikehendaki ikut campur dengan unit kegiatan yang notabene bersifat homogen.
Dari situ munculah ide-ide gila yang melibatkan beberapa mahasiswa lintas jurusan ITS . Adalah Efendi Sigarlaki, mahasiswa Fakultas Non-Gelar Teknologi (FNGT) Jurusan D3 Teknik Perkapalan ITS angkatan 1984 yang merupakan penggagas awal proyek WW 1. Gagasan tersebut disambut baik oleh kawannya satu jurusan, Fransiskus Rasdi. “Mereka merupakan pelopor lahirnya WW,” tambah sentot.
Kemudian, mereka berdua mulai merealisasikan mimpi tersebut dengan merekrut beberapa anggota dari berbagai jurusan. Mulai dari Jurusan Teknik Elektro, Teknis Fisika, Teknik Mesin, Desain Produk, hingga S1 Jurusan Teknik Perkapalan. Mereka semua kemudian dibagi menjadi dua kelompok besar, sebagian anggota tim teknis dan sisanya tergabung dalam tim non-teknis.
“Tim teknis ngurusi bikin mobil. Yang non-teknis bertugas cari duit dan bikin keriuh rendahan acara sirkus perjalanan Jakarta -Surabaya,” kenang pengusaha yang tergabung dalam tim non-teknis kala itu.
Layaknya proyek mahasiswa lintas jurusan, ego dari masing-masing individu selalu menjadi masalah utama. Problem tersebut semakin diperumit dengan tak adanya orang yang berpengalaman dalam hal project management. “Ide yang aneh, implementasi yang penuh improvisasi selalu kami lakukan,” ungkap Sentot.
Tak hanya itu, dana yang sangat minim semakin memperkeruh keadaan. Dari Rp 88 juta biaya yang dihabiskan, ITS hanya sanggup membantu Rp 1,4 juta saja. Sisanya merupakan bantuan dari pihak eksternal kampus. “Untung kami berhasil mengombinasikan riset dengan kegiatan keriaan dan sirkus perjalanan Jakarta – Surabaya. Sehingga berhasil menyita perhatian publik Indonesia kala itu,” tutur pengusaha kelahiran Jakarta tersebut.
Berkat perjuangan yang tak kenal lelah, akhirnya pada tahun 1989 mobil WW 1 diluncurkan. Walaupun desainnya masih sangat sederhana dan belum sepenuhnya memanfaatkan tenaga surya. Namun mampu menorehkan tinta emas dengan sukses menempuh perjalanan Jakarta -Surabaya. “Kami sangat bangga tatkala Surabaya menjadi biru dengan almamater ITS menyambut kedatangan kami,” imbuhnya.
Sukses dengan WW 1, tongkat estafet riset WW 2 diserahkan pada generasi yang lebih muda. Kali ini, Stefanus Sapto Handoyo, mahasiswa Jurusan Teknik Fisika angkatan 1987 yang didaulat sebagai komandan tim. Tak jauh berbeda dengan konsep WW 1, hanya saja efisiensi charging solar cell untuk WW 2 ditingkatkan hingga 70 persen. ” Desain WW 2 lebih futuristik,” terang Sentot.
WW 2 akhirnya diluncurkan pada tahun 1992. Kendaraan ini sukses menyamai prestasi saudara tuanya, bahkan lebih. Dengan prosentase penggunaan tenaga surya yang lebih banyak, WW 2 tak mengalami kendala berarti saat menempuh perjalanan Jakarta-Surabaya. “Beberapa parts memang harus diganti di jalan karena kekuatannya tidak sesuai dengan perhitungan,” Jelas alumnus ITS tahun 1992 tersebut.
Karya Besar Yang Mangkrak

Dua kali memukau publik Indonesia, riset WW 3 dilanjutkan. Namun, berbeda dengan riset WW 1 dan 2 yang ditujukan untuk mencari energi alternatif. WW 3 ini lebih difokuskan untuk persiapan mengikuti kompetisi World Solar Challenge (WSC) di Australia tahun 1999. “Ini merupakan kompetisi tahunan mobil surya tingkat dunia,” jelas Ir Agung Budiono MEng, dosen pembimbing WW 3.
Sehingga, desainnya pun mengikuti ketentuan WSC. Massa mobil dirancang seringan mungkin. Seluruh bagian kulit mobil dilapisi dengan sel surya kualitas tinggi agar dapat menyerap energi matahari dengan maksimal. “Sel surya yang kami gunakan dari bahan silikon,” terang dosen Jurusan Teknik Fisika tersebut.
Sayangnya, setelah karya terbaik mahasiswa ITS tersebut siap bertanding, WW 3 batal berangkat ke Australia. Tingginya biaya transportasi kala itu, membuat para punggawa WW 3 harus mengubur dalam-dalam impiannya berlaga di ajang internasional.
Saat ini, keberadaan WW 1 dan 2 sendiri diabadikan di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta sebagai karya terbaik anak bangsa. Akan tetapi, keadaan tersebut bertolak belakang dengan WW 3. Kendaraan fenomenal tersebut mangkrak tak terawat di gudang kampus ITS. “WW 3 juga pernah diminta TMMI. Namun, mahalnya biaya pengiriman membuat rencana tersebut batal,” keluh Agung.
Sentot sendiri berharap, pengembangan WW dapat dilanjutkan oleh mahasiswa ITS generasi muda. Ia pun menyarankan, agar setiap riset yang dilakukan mahasiswa ITS, dapat melibatkan mahasiswa lintas Jurusan. “Sapu Angin sudah bagus. Namun akan lebih sempurna lagi jika melibatkan orang-orang elektro, sipil, arsitek dan lainnya, untuk menjadikan karya itu lebih komprehensif,” himbaunya.
Bagaimana kabarnya team WW semua?
BalasHapusHallo Fendi...Saya lama sekali nyari kamu...ingat kita pernah adventure ke Lampung tahun 1985 ? Heris
Hapus